Penggarap Lahan Bekas HGU Pangalengan Memohon Keadilan Agraria, 'Kami Ingin Memanfaatkan Tanah Negara Yang Terlantar'
Bandung, INFO CEPAT — Di tengah hamparan lahan subur perkebunan teh di Pangalengan yang kini sebagian sudah terbengkalai dan tidak terawat, para petani penggarap yang tergabung dalam Paguyuban Penggarap Lahan Bekas HGU Perkebunan Pangalengan menyuarakan harapan mereka kepada pemerintah: keadilan agraria yang nyata, bukan sekadar janji di atas kertas.
Tokoh Masyarakat yang samasekali tidak mau disebutkan namanya, menegaskan bahwa lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN telah habis masa kontraknya sejak 2022. Menurutnya, sejak masa kontrak 25 tahun yang dimulai pada 1997 berakhir, tidak ada lagi aktivitas produktif dari pihak perusahaan, dan lahan pun seperti dibiarkan telantar, tegasnya kepada media saat ditemui dikediamannya, jalan raya Pangalengan, Minggu (04/04/2025).
“Lahan ini sudah lebih dari dua tahun dibiarkan tidak terurus (Lancuran). Kami hanya ingin mengelola dan memanfaatkannya untuk pertanian, bukan merebut atau menyerobot. Kami justru menyelamatkan tanah negara dari keterlantaran,” ujarnya.
Namun, langkah mereka untuk menggarap tanah tersebut justru menuai tuduhan dari pihak PTPN, yang menuduh para petani menyerobot lahan secara ilegal. Tuduhan ini ditolak keras oleh pihak paguyuban, yang merasa memiliki dasar moral dan sosial untuk memanfaatkan lahan tersebut demi keberlanjutan hidup mereka.
Tokoh masyarakat Pangalengan lainnya, yang sama sekali tidak ingin disebut namanya turut angkat suara mendukung perjuangan para petani penggarap. Menurutnya, negara seharusnya berpihak pada rakyat kecil yang menjaga dan memanfaatkan tanah, bukan pada segelintir pengusaha yang menjadikan lahan sebagai aset tidur.
“Kami sudah terlalu lama melihat tanah dibiarkan kosong sementara rakyat butuh makan dan butuh lahan. Jangan sampai "Tanah Kita Tanah Sorga, Subur Makmur Gemah Ripah Lohjinawi" jangan cuma jadi simbol ketimpangan agraria. Negara harus hadir. Karena Petani bukan musuh negara,” jelasnya.
Juga mengingatkan pentingnya menafsirkan kembali sila kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebagai kompas dalam menyelesaikan konflik agraria. Menurutnya, tanah negara yang telantar sudah selayaknya diberikan kepada rakyat yang bersedia dan mampu mengelolanya secara produktif.
Paguyuban berharap pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), segera turun tangan memediasi persoalan ini secara adil. Mereka juga menuntut agar lahan bekas HGU yang telantar bisa dikategorikan sebagai objek reforma agraria sesuai dengan Perpres No. 86 Tahun 2018.
“Ini soal perut rakyat dan masa depan pertanian kita. Jangan biarkan konflik ini berkepanjangan hanya karena birokrasi yang lamban atau karena tekanan dari pemilik modal,” pungkasnya ***
Komentar
Posting Komentar